SYARAT WAJIB HAJI

 

 

Permulaan Wajib Haji

Ibadah haji pertama kali diwajibkan setelah peristiwa Isra’ Mi’raj, di mana Allah memerintahkan shalat lima waktu dan Rasulullah SAW menerima wahyu yang memerintahkan umat Islam untuk melakukan ibadah haji bagi yang mampu. Perintah haji ini tercantum dalam surah Ali ‘Imran ayat 97:

"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." (QS. Ali ‘Imran: 97)

Ayat ini menjadi dasar bahwa haji adalah salah satu kewajiban bagi umat Islam yang mampu, dan merupakan rukun Islam yang kelima.

 

Syarat-Syarat Wajib Haji

Syarat wajib haji adalah kriteria atau kondisi yang harus dipenuhi seseorang untuk diwajibkan melaksanakan ibadah haji. Berikut adalah syarat-syarat wajib haji yang telah dijelaskan oleh para ulama:

1.     Islam

o    Haji hanya diwajibkan bagi orang yang beragama Islam. Orang yang belum memeluk Islam tidak diwajibkan dan tidak sah jika melaksanakan haji.

2.     Baligh

o    Ibadah haji diwajibkan bagi mereka yang telah mencapai usia baligh. Anak-anak yang belum baligh tidak wajib haji, meskipun mereka tetap diperbolehkan ikut dalam pelaksanaan haji bersama keluarganya. Namun, hajinya dianggap sebagai haji sunnah, dan ketika dewasa, ia tetap diwajibkan untuk berhaji lagi.

3.     Berakal

o    Haji diwajibkan bagi orang yang berakal sehat. Orang yang tidak berakal atau gila tidak dikenakan kewajiban ini karena mereka tidak dapat memahami dan melaksanakan ibadah dengan sempurna.

4.     Merdeka

o    Orang yang merdeka atau bukan budak diwajibkan haji. Pada masa Nabi SAW, para budak tidak diwajibkan haji karena keterbatasan dalam kebebasan mereka. Namun, bagi hamba sahaya yang telah dimerdekakan, kewajiban haji berlaku jika syarat lainnya terpenuhi.

5.     Mampu (Istitha'ah)

o    Kemampuan atau istitha'ah di sini memiliki beberapa aspek:

§  Fisik: Memiliki kesehatan yang baik untuk menempuh perjalanan dan melakukan rangkaian ibadah haji.

§  Finansial: Memiliki biaya yang cukup untuk perjalanan, akomodasi, dan kebutuhan selama pelaksanaan haji, tanpa mengorbankan kebutuhan keluarga yang ditinggalkan.

§  Aman: Kondisi keamanan yang memungkinkan untuk berangkat ke Tanah Suci. Jika situasi dalam keadaan bahaya, kewajiban haji bisa ditangguhkan hingga kondisi aman.

Penjelasan Tambahan dari Hadits

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda:

"Islam dibangun atas lima perkara: ... menunaikan haji bagi yang mampu." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menegaskan bahwa haji menjadi salah satu kewajiban pokok dalam Islam bagi yang mampu. Selain itu, Rasulullah SAW juga menekankan agar haji dilakukan sesegera mungkin ketika seseorang telah memenuhi syarat istitha'ah.

Contoh Penerapan Syarat Wajib Haji

  • Contoh 1: Seorang Muslim yang sudah dewasa, sehat, dan memiliki harta yang cukup, tetapi masih menunda haji tanpa alasan yang jelas, ia berdosa karena telah memenuhi syarat wajib haji tetapi tidak segera melaksanakannya.
  • Contoh 2: Seseorang yang telah lanjut usia dan tidak memiliki kekuatan fisik untuk melaksanakan haji, maka ia bisa mewakilkan ibadah haji (badal haji) kepada orang lain yang mampu, jika ia memiliki harta untuk membiayai wakil tersebut.

Dengan memahami syarat-syarat ini, kita bisa mengetahui siapa saja yang telah diwajibkan untuk melaksanakan haji, dan pentingnya melaksanakan ibadah ini ketika syarat-syarat tersebut telah terpenuhi.

 

 

Ayat ini adalah bagian dari Surah Ali ‘Imran ayat 97 yang berbunyi:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah." (QS. Ali 'Imran: 97)

Tafsir Ayat

1. "وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ" (Dan karena Allah, atas manusia...)

Ayat ini dimulai dengan penegasan bahwa kewajiban haji merupakan perintah dari Allah. Kewajiban ini adalah bentuk pengabdian seorang hamba kepada Allah. Ibadah haji bukan hanya sekadar perjalanan fisik, tetapi juga bentuk ketundukan dan ketaatan kepada-Nya.

2. "حِجُّ الْبَيْتِ" (melaksanakan haji ke Baitullah)

"Haji" secara bahasa berarti menuju atau menyengaja, sedangkan secara istilah dalam syariat Islam, haji berarti berziarah ke Baitullah (Ka'bah) di Makkah dengan niat ibadah. Ayat ini menegaskan bahwa ibadah haji harus dilakukan di Baitullah, tempat yang Allah sucikan dan jadikan sebagai pusat ibadah umat Islam.

3. "مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا" (bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana)

Istitha'ah (kemampuan) di sini merujuk pada kemampuan fisik, mental, dan finansial untuk menunaikan ibadah haji. Seseorang yang dianggap mampu adalah yang memiliki kesehatan untuk melakukan perjalanan, memiliki dana yang cukup, serta ada keamanan dalam perjalanan menuju Baitullah. Jika ada orang yang tidak mampu secara fisik, namun mampu secara finansial, ia bisa menggantikan dirinya dengan orang lain (badal haji).

Penjelasan dari Hadits dan Pendapat Ulama

Rasulullah SAW bersabda:

"Islam dibangun atas lima perkara: … menunaikan haji bagi yang mampu." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menegaskan bahwa ibadah haji merupakan salah satu dari lima rukun Islam, dan ia menjadi kewajiban yang harus dipenuhi bagi setiap Muslim yang mampu. Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya juga menekankan bahwa istitha'ah mencakup finansial, fisik, dan keamanan.

Hikmah dan Tujuan Ibadah Haji

Ibadah haji adalah sarana memperkuat ikatan seorang hamba dengan Allah dan mengingatkan umat Islam pada nilai persatuan dan kesetaraan. Semua jemaah haji berpakaian sama (ihram), meninggalkan status sosial mereka, dan beribadah bersama tanpa memandang latar belakang. Ibadah haji juga menjadi puncak dari ketundukan seorang Muslim dalam mengakui kebesaran dan keesaan Allah.

Kesimpulan

Ayat ini memerintahkan umat Islam yang mampu untuk melaksanakan ibadah haji sebagai bentuk pengabdian kepada Allah. Haji diwajibkan sekali seumur hidup bagi yang memenuhi syarat kemampuan, dan ibadah ini bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang menguatkan iman, menghapus dosa, dan menyatukan umat Islam di Baitullah.

 

بنِى الْإِسْلَامُ عَلى خَمر : شَهَادَةِ أَنْ لا إله إلا الله وَانَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ الله وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجَ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ متفق عليه

 

Hadits ini menyatakan lima pilar atau rukun utama Islam, yang merupakan dasar dari seluruh ajaran Islam dan ibadah-ibadah utamanya. Berikut adalah bunyi hadits tersebut:

بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ


“Islam dibangun atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah, dan puasa pada bulan Ramadan.” (Muttafaqun 'Alaih: HR. Bukhari dan Muslim)

Tafsir dan Penjelasan Hadits

Hadits ini mengungkapkan rukun-rukun Islam, yaitu lima dasar yang harus dipenuhi oleh setiap Muslim untuk menjalankan keimanannya. Berikut adalah penjelasan dari setiap rukun tersebut:

1.     Syahadat (Bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah)

Syahadat adalah deklarasi keimanan yang menjadi syarat pertama seseorang menjadi Muslim. Syahadat mengandung makna tauhid (pengesaan Allah) dan pengakuan atas kenabian Muhammad SAW sebagai pembawa risalah-Nya. Ini adalah dasar dari seluruh keyakinan dalam Islam.

2.     Shalat (Mendirikan Shalat)

Shalat adalah kewajiban utama yang dilakukan lima kali sehari, dan merupakan cara utama seorang Muslim untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al-‘Ankabut: 45). Shalat melambangkan ketaatan, ketundukan, dan kekhusyukan seorang hamba kepada Pencipta.

3.     Zakat (Menunaikan Zakat)

Zakat adalah kewajiban harta yang harus dikeluarkan oleh Muslim yang mampu untuk membersihkan harta dan membantu mereka yang membutuhkan. Zakat juga membantu menjaga keseimbangan sosial dalam masyarakat, mengurangi kesenjangan, dan meningkatkan solidaritas.

4.     Haji (Melakukan Ibadah Haji bagi yang Mampu)

Haji diwajibkan sekali seumur hidup bagi Muslim yang mampu secara fisik, mental, dan finansial. Ini adalah simbol persatuan umat Islam dari berbagai penjuru dunia, menanggalkan status sosial dan melakukan ibadah yang sama di Baitullah.

5.     Puasa di Bulan Ramadan

Puasa adalah kewajiban yang dilaksanakan selama bulan Ramadan. Puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga melatih pengendalian diri, kepekaan sosial, dan mendekatkan diri kepada Allah. Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183).

Kesimpulan

Hadits ini menunjukkan bahwa kelima rukun ini adalah fondasi dan pilar utama Islam. Dengan menjalankan lima rukun ini, seorang Muslim meneguhkan keimanannya dan mengikuti jalan yang telah ditentukan oleh Allah. Setiap rukun memiliki hikmah dan manfaat, baik secara individu maupun sosial, yang membentuk karakter Muslim dan membangun masyarakat yang sejahtera.

 

 

Hadits ini menceritakan tentang sebuah percakapan antara Nabi Muhammad SAW dengan seorang pria yang bertanya tentang kewajiban haji. Berikut adalah bunyi hadits tersebut:

 

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ خَطَبَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمُ الحَجَّ فَحُجُّوا". فَقَالَ رَجُلٌ: "أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟". فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلاَثًا. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ. ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ".

(HR. Ahmad, An-Nasa'i, dan Muslim)

Penjelasan Hadits:

1.     Konteks Hadits: Hadits ini terjadi ketika Nabi Muhammad SAW sedang memberikan khotbah kepada umatnya, dan beliau mengingatkan mereka tentang kewajiban haji. Dalam khotbah tersebut, beliau mengingatkan umat Islam bahwa Allah telah mewajibkan haji bagi orang yang mampu.

2.     Pertanyaan Pria: Seorang pria kemudian bertanya kepada Nabi, "Apakah haji itu wajib setiap tahun, wahai Rasulullah?" Pertanyaan ini muncul karena sebagian orang mungkin berpikir bahwa haji menjadi kewajiban tahunan. Pria tersebut ingin memastikan apakah haji harus dilakukan setiap tahun.

3.     Tanggapan Nabi: Nabi Muhammad SAW tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut, tetapi beliau diam sejenak. Setelah pria tersebut mengulang pertanyaannya tiga kali, Nabi menjawab dengan bijaksana, "Jika saya mengatakan 'Ya', maka haji akan menjadi wajib setiap tahun, dan kalian tidak akan mampu melakukannya."

4.     Pesan dari Nabi: Nabi Muhammad SAW akhirnya menegaskan agar umat Islam tidak terjebak dalam detail yang berlebihan terkait kewajiban ibadah. Beliau menasihati agar umat mengikuti apa yang telah disyariatkan tanpa menambah-nambahkan kewajiban. Jika beliau menyatakan bahwa haji wajib setiap tahun, maka umat Islam mungkin tidak akan mampu melaksanakan kewajiban tersebut, karena itu akan menjadi beban berat bagi mereka. Oleh karena itu, beliau berkata, "Biarkan saya, selama saya tidak memberikan perintah lebih lanjut."

5.     Hikmah dari Hadits:

o    Kesederhanaan dalam ibadah: Hadits ini mengajarkan bahwa dalam menjalankan ibadah, kita tidak boleh menambah-nambahkan kewajiban atau aturan yang tidak diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Islam adalah agama yang mudah dan tidak memberatkan umatnya.

o    Menghindari Taklid Berlebihan: Taklid atau mengikuti pendapat tanpa dasar yang jelas bisa berbahaya, sebagaimana pertanyaan yang diajukan itu berpotensi untuk membawa umat ke dalam kewajiban yang lebih berat.

o    Menjaga keseimbangan dalam beragama: Nabi mengingatkan kita untuk menjaga keseimbangan dalam beragama, tidak berlebihan dalam mengambil atau menambah-nambahkan sesuatu yang tidak ada dalil yang memastikannya.

Kesimpulan:

Hadits ini mengajarkan umat Islam agar menjalankan ibadah sesuai dengan yang telah ditetapkan, tanpa berlebihan. Haji hanya diwajibkan sekali seumur hidup bagi mereka yang mampu, dan tidak perlu dilakukan setiap tahun. Jika Nabi SAW mengabulkan pertanyaan tersebut, maka bisa jadi umat Islam akan merasa terbebani dan tidak mampu melaksanakannya.

 

 

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Abbas dan berbunyi:

عَنْ إِبْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "تَعَجَّلُوا إِلَى الحَجِّ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَا يَدْرِي مَا يَعْرِضُ لَهُ".
(HR. Ahmad)

Penjelasan Hadits:

1.     Konteks Hadits:

Hadits ini mengajarkan tentang pentingnya untuk segera melaksanakan ibadah haji apabila seseorang mampu, karena tidak ada yang mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan. Nabi Muhammad SAW mendorong umat Islam untuk tidak menunda-nunda pelaksanaan haji dan segera menunaikannya jika sudah memenuhi syarat-syaratnya.

2.     Makna "Tergesa-gesa dalam Haji":

Kata "ta'ajjalu ila al-hajj" berarti "segeralah melakukan haji." Hal ini menunjukkan bahwa seseorang tidak boleh menunda-nunda pelaksanaan haji, karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan yang bisa menghalangi kita untuk menunaikan ibadah haji.

3.     Alasan untuk Segera Melakukan Haji:

Dalam hadits ini, Nabi SAW menyatakan bahwa tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi pada diri seseorang di masa depan. Bisa saja seseorang yang mampu melaksanakan haji pada suatu waktu, kemudian mengalami kesulitan atau halangan di masa depan, seperti sakit, kesulitan finansial, atau sebab lainnya yang menghalanginya untuk melaksanakan haji.

4.     Hikmah dari Hadits:

o    Segera Melaksanakan Ibadah: Hadits ini mengajarkan kita untuk segera melaksanakan kewajiban agama, terutama ibadah haji, ketika kita memiliki kemampuan. Jika kita menunda-nunda, kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan yang bisa menghalangi kita.

o    Menghargai Waktu dan Kesempatan: Haji adalah kewajiban yang hanya perlu dilaksanakan sekali seumur hidup bagi mereka yang mampu. Oleh karena itu, kesempatan untuk menunaikannya harus dihargai, dan kita tidak boleh menunggu sampai terlambat.

o    Kesadaran akan Ketidakpastian Masa Depan: Hadits ini mengingatkan kita bahwa hidup penuh dengan ketidakpastian. Apa yang kita miliki hari ini, bisa saja hilang atau berubah besok, sehingga kita harus memanfaatkan waktu yang ada sebaik-baiknya untuk beribadah.

Contoh Penerapan:

Misalnya, seseorang yang sudah mampu secara fisik, finansial, dan sudah memenuhi syarat haji lainnya, maka ia disarankan untuk tidak menunda-nunda haji. Bisa saja di masa depan ia menghadapi kondisi yang tidak memungkinkan, seperti sakit yang menghalanginya untuk berangkat, atau perubahan keadaan keuangan yang membuatnya kesulitan.

Kesimpulan:

Hadits ini mengingatkan kita untuk tidak menunda-nunda pelaksanaan ibadah haji dan untuk segera menunaikannya ketika sudah mampu. Ini adalah panggilan untuk menghargai waktu dan kesempatan yang ada, serta menyadari bahwa masa depan tidak pasti, dan kita tidak tahu apa yang akan menghalangi kita di kemudian hari.

Hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas ini berbunyi:

عَنْ ابْنِ عَبَاسٍ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا تُسَافِرُ امْرَأَةٌ إِلَّا مَعَ مَحْرَمٍ وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ" فَقَالَ رَجُلٌ: "يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِي حَبَشَةٍ كَذَا وَكَذَا وَامْرَأَتِي تُرِيدُ الْحَجَّ" فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اَخْرُجْ مَعَهَا".

(HR. Bukhari)

Penjelasan Hadits:

1.     Larangan Wanita Bepergian Tanpa Mahram:


Hadits ini mengandung perintah dari Nabi Muhammad SAW agar wanita tidak bepergian sendirian tanpa didampingi oleh mahram (laki-laki yang haram menikah dengannya, seperti ayah, saudara laki-laki, atau suami). Hal ini bertujuan untuk menjaga kehormatan dan keselamatan wanita dari berbagai potensi bahaya yang bisa terjadi selama perjalanan. Dalam hal ini, Nabi SAW menegaskan bahwa seorang wanita tidak diperbolehkan melakukan perjalanan jauh, baik untuk tujuan ibadah seperti haji, maupun tujuan lainnya, tanpa mahram.

2.     Larangan Pria Masuk Tanpa Mahram:


Hadits ini juga mengingatkan agar seorang pria tidak memasuki rumah atau tempat wanita yang tidak ada mahramnya, kecuali ada mahram yang mendampinginya. Ini sebagai langkah untuk mencegah terjadinya fitnah atau sesuatu yang tidak baik, dan untuk menjaga kehormatan dan keamanan wanita.

3.     Contoh yang Diberikan: Dalam hadits ini, seorang sahabat bertanya kepada Nabi SAW tentang keinginannya untuk pergi ke Habasyah (sekarang Ethiopia) untuk suatu urusan, sementara istrinya ingin pergi haji. Nabi SAW menjawab bahwa pria tersebut harus membawa serta istrinya dalam perjalanan tersebut, yaitu dengan menjadikan dirinya sebagai mahram bagi istrinya. Ini menunjukkan bahwa meskipun pria tersebut punya niat untuk melakukan perjalanan jauh, ia tetap diwajibkan untuk menjaga istrinya, dan membawa serta dalam perjalanan tersebut untuk memastikan keselamatan dan kehormatannya.

4.     Hikmah dan Tujuan:

o    Menjaga Kehormatan Wanita: Dalam Islam, wanita dihormati dan dilindungi, dan salah satu cara untuk melindunginya adalah dengan memastikan bahwa mereka tidak bepergian jauh tanpa didampingi oleh mahram.

o    Menghindari Potensi Fitnah: Larangan ini juga bertujuan untuk menghindari fitnah atau potensi terjadinya perbuatan yang tidak diinginkan ketika seorang wanita bepergian tanpa pengawasan yang cukup.

o    Ibadah Haji dan Keamanan: Ketika berbicara tentang ibadah haji, yang merupakan salah satu rukun Islam, keberangkatan haji seorang wanita harus dengan pengawalan mahram. Hal ini penting karena perjalanan haji adalah perjalanan yang jauh dan bisa membutuhkan waktu lama.

Contoh Penerapan:

Misalnya, seorang wanita yang ingin pergi haji harus memastikan bahwa dia bepergian bersama suaminya atau mahram lain yang memenuhi syarat untuk menemaninya dalam perjalanan tersebut. Jika seorang wanita hendak bepergian untuk urusan lain yang jauh, dia tetap perlu membawa mahramnya untuk menjaga keselamatannya dan mencegah potensi fitnah.

Kesimpulan:

Hadits ini mengajarkan kita bahwa dalam Islam, wanita harus bepergian dengan pengawalan mahram untuk menjaga kehormatan dan keselamatannya. Meskipun pria memiliki niat untuk bepergian jauh, ia tetap berkewajiban untuk memastikan bahwa istrinya dilindungi dan dapat melakukan perjalanan dengan aman, seperti dalam contoh yang diberikan tentang perjalanan haji.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Abbas dan berbunyi:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جَهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّٰهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ، أَفَيَنْفَعُهَا شَيْءٌ إِنْ حَجَجْتُ عَنْهَا؟ قَالَ: "نَعَمْ، حُجِّي عَنْهَا، أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ، أَكُنْتِ قَاضِيَتَهُ؟" قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ: "فَاقْضِي اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ."

(HR. Bukhari)

Penjelasan Hadits:

1.     Konteks Nadzar (Janji Ibadah):


Hadits ini menceritakan seorang wanita dari suku Jahinah yang datang kepada Nabi Muhammad SAW untuk bertanya tentang ibadah haji. Ibunya telah bernadzar untuk berhaji, namun belum sempat melaksanakannya karena meninggal dunia sebelum kesempatan itu datang. Wanita tersebut bertanya apakah ada manfaatnya jika dia berhaji untuk ibunya yang sudah meninggal, karena ibunya tidak sempat memenuhi nadzarnya.

2.     Nabi SAW Memberi Jawaban Positif:


Nabi SAW menjawab bahwa wanita tersebut boleh melakukan haji untuk ibunya yang sudah meninggal. Nabi SAW memberi jawaban ini karena, dalam pandangan Islam, jika seseorang memiliki kewajiban ibadah yang belum terlaksana (seperti haji atau puasa), maka orang lain dapat menggantikannya untuk melaksanakannya, dengan niat untuk menggantikan orang yang meninggal dunia.

3.     Perumpamaan dengan Hutang:


Untuk memberikan pemahaman lebih jelas, Nabi SAW menggunakan perumpamaan yang sangat relevan dan mudah dipahami. Beliau bertanya, "Jika ibumu memiliki hutang, apakah kamu akan membayarnya?" Wanita tersebut menjawab, "Ya." Maka Nabi SAW menjawab, "Demikian juga, bayarlah apa yang menjadi hak Allah. Allah lebih berhak untuk dipenuhi janji-Nya (dibayar oleh orang yang masih hidup)."


Perumpamaan ini menunjukkan bahwa hutang kepada Allah, seperti kewajiban ibadah yang belum dilaksanakan, harus dibayar dengan cara melakukan ibadah pengganti, seperti haji bagi orang yang telah meninggal dunia. Haji adalah kewajiban bagi orang yang mampu, dan jika seseorang yang bernadzar belum sempat menunaikannya, maka orang lain bisa menggantikannya.

4.     Hukum Melakukan Haji untuk Orang Lain:


Dalam Islam, seseorang yang meninggal dunia sebelum bisa melaksanakan haji atau puasa yang menjadi kewajibannya, boleh digantikan oleh orang lain. Namun, penggantian ini harus dilakukan dengan niat untuk menggantikan kewajiban orang yang meninggal dunia, dan bukan untuk memperoleh pahala sendiri.

5.     Kesimpulan Utama:


Hadits ini menegaskan bahwa seseorang yang meninggal dunia dan tidak sempat menunaikan kewajiban seperti haji atau puasa, maka keluarga atau orang yang dekat dengannya dapat menggantikan kewajiban tersebut atas nama orang yang meninggal. Dalam hal ini, wanita tersebut dianjurkan untuk berhaji atas nama ibunya, karena Allah lebih berhak untuk dipenuhi janji-Nya daripada janji manusia lainnya.

Hikmah dan Pengajaran:

  • Melaksanakan Nadzar yang Belum Terpenuhi: Jika seseorang bernadzar untuk melakukan ibadah, dan ia tidak sempat melaksanakannya sebelum meninggal, maka ahli waris atau orang yang dekat dengannya dapat menggantikan untuk melaksanakan nadzar tersebut.
  • Menghormati Hak Allah: Hadits ini juga menekankan pentingnya menghormati hak-hak Allah, seperti kewajiban ibadah, dengan menunaikan kewajiban tersebut meskipun atas nama orang lain yang telah meninggal.
  • Kewajiban Mengganti Hutang kepada Allah: Seperti halnya hutang manusia yang harus dibayar, demikian pula dengan kewajiban ibadah kepada Allah, harus dilaksanakan dengan tepat, bahkan jika itu menggantikan orang yang meninggal.

Contoh Praktis:

Misalnya, seseorang yang telah meninggal dan bernadzar untuk berhaji, maka keluarganya bisa melaksanakan haji untuk almarhum sebagai bentuk penggantian nadzar tersebut. Hal ini berlaku juga untuk kewajiban-kewajiban ibadah lainnya yang belum dilaksanakan oleh orang yang meninggal dunia.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SHALAT JAMAK DAN QASHAR

Qurban

Sujud Tilawah dan Sujud Syukur